Book Review : The Ones Who Walk Away From Omelas
Mungkin udah sangat terlambat mau ngebahas tentang buku satu ini. Baru aja aku selesai baca cerita ini dan tertarik untuk ngebahas tentang buku yang booming khususnya di kalangan fans boyband asal korea, BTS. Kalau kalian cari reviewnya di google kalian bisa nemuin banyak banget blogger yang udah nulis tentang ini. Tapi berhubung aku baru baca, aku mau coba ngebahas ini dari sudut pandang pemikiran aku. Garis bawahi ya, aku disini hanya review tentang bukunya dan bukan tentang hubungan antara buku ini dengan video klip BTS.
Kalau kalian udah ngikutin blog ini, pasti kalian tau kalau sekarang aku lagi suka-suka nya sama boyband BTS. Salah satu dari banyak alasan aku suka sama mereka, karena mereka membuat konsep music video ataupun liriknya dari buku-buku. Musik video yang ngangkat buku ini judulnya adalah Spring Day.
Kalau kalian tonton, disitu kalian bisa nemuin gedung dengan tulisan Omelas di atasnya. Itulah awalnya buku yang dirilis tahun 1973 ini, kembali banyak di baca kembali pada tahun 2017. Buku dengan judul lengkap "The Ones Who Walk Away from Omelas" karya Ursula K. Le Guin ini bukanlah buku dengan cerita yang memiliki plot. Diawali dengan deskripsi mengenai sebuah acara musim panas di sebuah kota yang bernama Omelas. Omelas digambarkan adalah kota yang sangat sempurna. Penduduknya penuh dengan kegembiraan, Omelas tidak memiliki raja yang memerintah. Mereka tidak menggunakan pedang, tidak ada perbudakan, tidak ada peraturan pasti yang berlaku disana sehingga mereka hidup tanpa terusik oleh pertukaran saham, iklan dan kebijakan yang mengikat.
Mereka hidup bahagia.
Kita memiliki pemikiran jelek mengenai kebahagiaan yang terpengaruh oleh ilmuwan dan kecanggihan duniawi. Tapi sebenarnya kebahagiaan itu sederhana kalau kita tidak terpengaruh oleh mereka. Buku ini sangat cocok untuk menggambarkan kehidupan pada saat ini yang tidak lepas dari kecanggihan alat-alat yang ditemukan oleh ilmuwan. Orang-orang perkotaan merasa bahwa kehidupan mereka di kota sangat bahagia dengan kecanggihan yang di dapat daripada orang-orang yang tinggal dipedesaan. Namun sebaliknya, orang-orang pedesaan merasa sangat bahagia hanya dengan apa yang mereka miliki disana tanpa harus merasa kekurangan, tanpa harus merasa ketinggalan, tanpa harus merasa iri dengan orang-orang disekitar mereka yang juga sudah terlihat bahagia dengan apa yang mereka miliki.
Digambarkan lagi bahwa anak-anak di Omelas bukanlah anak-anak lugu yang hanya merasakan kebahagiaan. Mereka sebenarnya adalah orang-orang dewasa dari segi fisik maupun mental. Mereka orang-orang yang tidak pernah merasakan yang namanya kemalangan dalam hidup.
Omelas seperti kota yang ada di dunia dongeng.
Kalau Omelas tidak ada teknologi bagaimana mereka bisa bahagia?
Kebahagiaan diukur dengan memilah mana sesuatu yang perlu dan mana yang tidak. Di Omelas mereka bisa memiliki mesin cuci, alat pemanas, kereta bawah tanah tapi kalau mereka tidak memerlukannya, untuk apa mereka memilikinya.
Penulis juga menggambarkan kalau di Omelas tidak memiliki rumah ibadah, karena disanalah letak permasalahan akan bersemayam. Untuk yang kali ini, aku tidak setuju hmmm.....
Walaupun sekarang pada kenyataannya memang agama menjadi sesuatu hal yang sensitif sehingga orang-orang yang tidak bertanggung jawab dapat memercikkan kebenciaan dari sini yang dapat menimbulkan permasalahan dan perpecahan.
Di Omelas agama dapat diterima tapi tidak dengan orang-orang yang memimpin rumah ibadah.
Omelas dengan segala kesempurnaannya itu akhirnya memulai pesta musim panas...
Apa benar kebahagiaan itu ada?
Ternyata, tidak.
Tepat dibawah tanah di suatu gudang kecil tanpa jendela dan penuh sarang laba-laba terdapat seorang anak kecil kurus yang tidak terurus disana. Penduduk Omelas tau tentang keberadaan anak itu, namun tidak berbuat apa-apa. Saat anak-anak di Omelas berumur 8 tahun atau lebih, mereka akan diceritakan mengenai anak tersebut. Sebagian yang telah tau, terkadang datang hanya untuk melihat anak itu dengan jijik dan sebagian lainnya hanya cukup tau dengan keberadaan anak itu tanpa berbuat apa-apa.
Mereka tidak berbuat apa-apa. Ini seperti sebuah perjanjian atau ritual yang mengikat. Kebahagiaan Omelas berada pada penderitaan anak tersebut sehingga kalau anak tersebut mendapatkan kebahagiaan maka kebagian penduduk Omelas lah yang tertukar.
Sangat miris kalau kita bisa memahami maksud dari si penulis membuat ini. Bisa saja si penulis mencoba untuk menyindir sistem pemerintahan yang terkadang tidak memandang orang-orang yang berada dibawah. Masih banyak ditemukan orang-orang hebat yang hidup diatas penderitaan orang lain.
Lalu apakah semua orang di Omelas seperti itu?
Luar biasa.
Ternyata masih ada dari mereka yang memiliki rasa iba, mengunjungi anak tersebut dan memutuskan untuk pergi dari kota Omelas yang mungkin saja kebahagiaan di kota itu hanya semu.
Selama membaca ini otakku seolah diajak berfikir keras tentang apa makna sebenarnya dibalik cerita ini. Biarkanlah semua orang yang membaca berkutat dengan pemahaman mereka masing-masing...
0 Comments